Di era digital saat ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tidak lagi hanya mengandalkan data konvensional dalam menggali potensi pajak. Salah satu pendekatan terbaru yang menarik perhatian publik adalah cara DJP menggali pajak dari media sosial. Strategi ini dianggap sebagai bentuk adaptasi terhadap tren masyarakat yang semakin aktif di dunia maya dan mendapatkan penghasilan melalui platform digital.
DJP memanfaatkan teknologi digital dan analisis data (data analytics) untuk memantau aktivitas pengguna di media sosial. Misalnya, gaya hidup mewah yang ditampilkan oleh influencer atau pengusaha daring bisa menjadi indikator adanya penghasilan besar yang perlu diklarifikasi. Dari unggahan seperti liburan ke luar negeri, pembelian barang-barang mewah, hingga event yang diselenggarakan secara besar-besaran, DJP bisa mencocokkannya dengan laporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak.
Pendekatan ini bukan semata-mata untuk menakut-nakuti, melainkan menjadi langkah nyata dalam menciptakan keadilan fiskal. DJP tidak ingin hanya kalangan formal yang taat pajak, sementara pelaku ekonomi digital yang tumbuh pesat justru luput dari kewajiban perpajakan.
Namun demikian, pendekatan ini memunculkan pro dan kontra. Sebagian menilai bahwa pengawasan lewat media sosial melanggar privasi, sementara yang lain menganggap ini sebagai wujud keadilan. DJP sendiri menyatakan bahwa mereka hanya menggunakan data yang bersifat publik, dan tetap menjunjung tinggi asas legalitas dan proporsionalitas.
Langkah DJP ini menunjukkan bahwa sistem situs toto slot perpajakan Indonesia tengah bertransformasi, mengikuti arus digitalisasi yang tak terbendung. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat, terutama pelaku usaha digital, untuk lebih sadar akan kewajiban pajaknya dan memahami cara DJP menggali pajak dari media sosial sebagai bagian dari proses modernisasi pajak di Indonesia.